Jumat, 11 April 2025

Ingin Pergi, Tapi Tak Tahu Ke Mana

Langit sore itu kelabu, seperti hatinya.

Susi duduk di tepi ranjang, memandangi jendela yang mulai berembun oleh udara sore. Di balik tirai tipis, dunia luar tampak tenang, padahal dalam dirinya, ada riuh yang tak bisa dijelaskan. Ia tinggal bersama beberapa orang yang setiap harinya bertukar tawa tapi tidak dengannya.

Bukan karena dia tak ingin berbicara. Bukan juga karena dia ingin menyendiri setiap waktu. Tapi ada hal-hal yang membuatnya merasa asing di tengah keramaian. Mereka adalah orang-orang yang selalu ingin dimengerti, ingin diperhatikan, tapi tak pernah benar-benar melihat sekeliling mereka.

Hari ini, salah satu dari mereka kembali bersikap diam tanpa alasan. Tidak ada sapaan, tidak ada senyum. Padahal kemarin mereka berbicara begitu akrab. Lusa? Mungkin akan berbicara lagi. Tapi hari ini, dingin. Jarak yang tak bisa dijelaskan itu muncul lagi, seperti kabut yang datang tiba-tiba di pagi hari.

Dan anehnya, orang itu berbicara hangat pada yang lain, tapi tidak padanya. Ia merasa seperti tembok yang hanya pantas dipandang saat dibutuhkan.

Susi bukan orang yang mudah marah. Tapi ia lelah. Lelah terus-menerus menebak perasaan orang lain, sambil menekan perasaannya sendiri. Ia mulai merasa, mungkin bukan mereka yang salah. Mungkin ia yang terlalu peduli.

Ada keinginan kuat untuk pergi. Bukan kabur. Tapi mencari tempat yang membuatnya merasa utuh, bukan tempat yang membuatnya mempertanyakan keberadaannya setiap hari.

Ia menghela napas. Dalam hati ia berkata pelan, "Aku ingin pergi. Tapi aku tidak tahu ke mana. Hanya ingin menjauh dari tempat yang membuatku merasa tidak hidup."

Tapi seperti sore yang perlahan berubah menjadi malam, ia tahu… besok akan datang lagi. Dan ia masih akan di sini. Untuk sementara.

Kamis, 10 April 2025

Langkah yang Tak Terlihat

Ada seseorang yang pernah merasa hidup ini terlalu berat untuk dijalani. Ia tidak meminta banyak hanya ingin merasakan bahagia yang sederhana, seperti orang lain. Namun, semakin ia berusaha, semakin jauh semua itu terasa. Harapan yang ia genggam erat perlahan hancur satu per satu. Ia bertanya dalam sunyi,apakah "Tuhan"itu ada ? jika ada Mengapa Kau diam saat aku berjuang sendirian?"

Setiap hari terasa seperti bertarung dengan dunia, dengan dirinya sendiri. Ia melihat sekelilingnya orang-orang yang tampak bahagia, mendapatkan yang mereka inginkan tanpa harus terluka sebanyak dirinya. Ia merasa gagal. Ia merasa kecil. Ia merasa Tuhan melewatkannya.

Namun waktu berjalan, dan luka-luka itu perlahan berubah menjadi kekuatan. Ia mulai belajar bahwa hidup bukan tentang siapa yang paling cepat sampai, tapi siapa yang tetap bertahan. Ia belajar menerima bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dalam bentuk yang ia harapkan. Terkadang, ia masih ingin menjadi seperti orang lain tapi kini, ia lebih bisa melihat bahwa menjadi dirinya pun adalah anugerah yang luar biasa.

Kini, ia menjalani hidup dengan pelan-pelan, penuh syukur, meskipun kadang masih diliputi ragu. Tapi setiap langkah yang dulu tak terlihat oleh siapa pun, termasuk oleh dirinya sendiri adalah langkah keberanian.

Dan hari ini, ia masih berjalan. Dengan hati yang pernah patah, tapi tidak pernah berhenti.

Saat Kedekatan Tak Lagi Sama

Dulu, Lusi dan salah satu teman sekamarnya sangat dekat. Mereka satu kelas, satu kamar, dan hampir ke mana-mana selalu bersama. Rasanya seperti punya saudara sendiri selalu ada tempat berbagi cerita dan tawa. Namun, seiring waktu, Lusi mulai merasakan perubahan kecil dalam sikapnya. Perubahan yang pelan-pelan terasa semakin jelas.

lusi mulai menyadari bahwa perlakuannya padanya tidak sama seperti kepada teman-teman lain. Saat orang lain menasihatinya atau bahkan mengoloknya, ia bisa menanggapi dengan santai. Tapi ketika Lusi yang berkata hal serupa dengan niat yang sama reaksinya berbeda. Ia langsung menjawab ketus, seolah tersinggung atau merasa tidak nyaman.

Karena merasa ada yang aneh dan tidak ingin memendam, Lusi memberanikan diri bertanya padanya. Saat itulah ia berkata bahwa ia kadang tidak suka dengan lusi dan merasa bahwa apa yang Lusi katakan itu dia tidak dia suka dan mereka tidak cocok.

Jawaban itu jujur, tapi juga menyakitkan. lusi tidak marah. lusi hanya merasa kehilangan. Kehilangan bentuk kedekatan yang dulu terasa begitu hangat. Mungkin memang tidak semua hubungan bisa bertahan dalam bentuk yang sama selamanya. Kadang kita berubah, dan orang lain pun berubah. Tapi tetap saja, ada ruang di hati yang terasa hampa saat seseorang yang dulu dekat, mulai menjauh dalam diam.

Selasa, 08 April 2025

Di Balik Luka, Ada Cahaya

Pernah ada seseorang yang merasa hidup begitu berat, terutama di masa remajanya. Tekanan dari lingkungan dan sikap orang-orang di sekitarnya membuat hari-harinya penuh air mata. Saat duduk di bangku SMA, ia sering menangis dalam diam. Orang tuanya memang selalu memberinya semangat, tetapi ia tidak pernah mampu menceritakan apa yang sebenarnya ia rasakan.

Ia ingin pindah sekolah, berharap bisa memulai hidup baru, tapi keinginannya tak pernah dikabulkan. Waktu berjalan, dan dengan segala keterbatasan, ia tetap bertahan hingga akhirnya lulus SMA. Saat itu, ia berhasil diterima di salah satu kampus terbaik di provinsinya sebuah pencapaian yang membanggakan. Namun, keadaan berkata lain. Ia tidak bisa melanjutkan kuliah karena situasi yang tidak memungkinkan. Kekecewaan menghantam, dan ia pun bertanya dalam hati, "Kenapa semua ini terasa begitu sulit?"

Tiga tahun berlalu. Setelah sempat kehilangan semangat, ia akhirnya memilih untuk bangkit dan memulai kuliah, meskipun bukan di jurusan yang ia impikan. Ia berusaha menjalaninya dengan baik, menyimpan luka dan harapan dalam diam. Meski kadang rasa sedih dan gagal itu kembali menyapa, ia terus melangkah, berusaha tidak membiarkan masa lalu mendefinisikan masa depannya.

Perjalanannya bukan tentang kesempurnaan, tapi tentang keberanian untuk tetap berjalan meski hati pernah rapuh. Karena sejatinya, di balik luka yang dalam, selalu ada cahaya yang menanti untuk ditemukan.

dua dunia,satu wajah

Nadia dan Ardi seperti dua kutub yang berlawanan. Nadia, seorang introvert, lebih suka duduk di sudut perpustakaan dengan buku-buku tebal yang membawanya ke dunia lain. Ia menikmati kesunyian, percakapan yang mendalam, dan waktu yang dihabiskan untuk berpikir sebelum berbicara. Sementara itu, Ardi adalah sosok yang penuh energi. Sebagai ekstrovert, ia selalu menjadi pusat perhatian, mengisi setiap ruangan dengan tawa dan cerita-cerita spontan.

Di kelas, mereka sering dibandingkan. "Nadia itu pendiam, pasti introvert," kata teman-temannya. "Ardi nggak bisa diam, pasti ekstrovert." Pernyataan itu terdengar sederhana, tetapi seakan menjadi kebenaran mutlak bagi banyak orang.

Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Nadia bukanlah seseorang yang selalu diam. Ketika berbicara tentang topik yang ia sukai, ia bisa bicara panjang lebar, lebih dalam daripada kebanyakan orang. Hanya saja, ia tidak merasa perlu berbicara setiap saat. Sementara Ardi, meskipun tampak selalu ceria, ada kalanya ia lelah dan hanya ingin menyendiri, tetapi orang-orang tidak pernah melihat sisi itu darinya.

Sampai suatu hari, mereka ditugaskan dalam kelompok yang sama untuk sebuah proyek. Bagi Nadia, bekerja dengan Ardi terasa melelahkan; ia terlalu cepat berbicara, terlalu sering bertanya, dan seakan tidak memberi ruang bagi keheningan. Sementara bagi Ardi, Nadia terasa sulit dijangkau, terlalu diam, dan tidak menunjukkan ekspresi yang jelas.

Namun, seiring berjalannya waktu, mereka mulai memahami satu sama lain. Ardi belajar untuk menghargai keheningan dan kedalaman pemikiran Nadia, sementara Nadia mulai melihat bahwa interaksi sosial yang aktif juga bisa menyenangkan.

Mereka pun menyadari satu hal: menjadi introvert bukan berarti selalu pendiam, dan menjadi ekstrovert bukan berarti tidak bisa diam. Dunia tidak hanya tentang diam atau bising, tetapi tentang bagaimana memahami satu sama lain di antara keduanya.

Jarak yang Tak Terlihat

Di sebuah ruangan kecil, di antara tumpukan buku dan tawa teman-teman sekamar, Laras mulai menyadari sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia tinggal bersama beberapa teman sekamar, tetapi ada satu orang yang selalu bersikap berbeda padanya Rina.

Rina bukan orang yang kasar atau terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya, tetapi sikapnya seolah menciptakan jarak yang tak terlihat. Saat kekurangan sesuatu, ia dengan mudah meminta bantuan teman yang lain, bahkan pada mereka yang juga sedang kekurangan. Namun, kepada Laras, Rina selalu memilih diam. Tidak ada permintaan, tidak ada ucapan maaf saat terjadi kesalahan, tidak ada sikap terbuka seperti yang ia tunjukkan pada yang lain.

Laras tidak pernah merasa telah berbuat salah. Ia tidak pernah mengabaikan atau menyakiti Rina, namun mengapa hanya kepadanya Rina bersikap dingin? Awalnya, Laras mencoba mengabaikan perasaan itu. "Mungkin cuma perasaanku saja," pikirnya. Namun semakin lama, semakin jelas bahwa perbedaannya nyata.

Saat teman-teman sekamar berbincang hangat, Rina mudah tertawa dan bercanda dengan yang lain, tetapi dengan Laras, pembicaraan selalu terasa kaku, bahkan sesekali diabaikan. Ada jarak yang tak bisa ia pahami.

Hingga suatu hari, Laras memutuskan untuk menjaga jarak. Ia tidak lagi berharap Rina berubah atau mencari tahu alasan di balik sikapnya. Namun, ada sedikit luka di hatinya bukan karena ingin diperlakukan istimewa, tetapi karena ia tidak mengerti mengapa seseorang bisa bersikap begitu berbeda terhadapnya tanpa alasan yang jelas.

Di kamar yang sama, di antara percakapan dan tawa yang masih terdengar, Laras perlahan belajar satu hal: tidak semua pertanyaan harus memiliki jawaban, dan tidak semua hubungan harus dipaksakan untuk tetap dekat. Beberapa jarak memang tidak bisa dijembatani, dan itu tidak selalu salah satu pihak. Kadang, itu hanya bagian dari perjalanan memahami manusia dan menerima bahwa tidak semua orang akan memperlakukan kita seperti yang kita harapkan.

Ingin Pergi, Tapi Tak Tahu Ke Mana

Langit sore itu kelabu, seperti hatinya. Susi duduk di tepi ranjang, memandangi jendela yang mulai berembun oleh udara sore. Di balik tirai ...