Langit sore itu kelabu, seperti hatinya.
Susi duduk di tepi ranjang, memandangi jendela yang mulai berembun oleh udara sore. Di balik tirai tipis, dunia luar tampak tenang, padahal dalam dirinya, ada riuh yang tak bisa dijelaskan. Ia tinggal bersama beberapa orang yang setiap harinya bertukar tawa tapi tidak dengannya.
Bukan karena dia tak ingin berbicara. Bukan juga karena dia ingin menyendiri setiap waktu. Tapi ada hal-hal yang membuatnya merasa asing di tengah keramaian. Mereka adalah orang-orang yang selalu ingin dimengerti, ingin diperhatikan, tapi tak pernah benar-benar melihat sekeliling mereka.
Hari ini, salah satu dari mereka kembali bersikap diam tanpa alasan. Tidak ada sapaan, tidak ada senyum. Padahal kemarin mereka berbicara begitu akrab. Lusa? Mungkin akan berbicara lagi. Tapi hari ini, dingin. Jarak yang tak bisa dijelaskan itu muncul lagi, seperti kabut yang datang tiba-tiba di pagi hari.
Dan anehnya, orang itu berbicara hangat pada yang lain, tapi tidak padanya. Ia merasa seperti tembok yang hanya pantas dipandang saat dibutuhkan.
Susi bukan orang yang mudah marah. Tapi ia lelah. Lelah terus-menerus menebak perasaan orang lain, sambil menekan perasaannya sendiri. Ia mulai merasa, mungkin bukan mereka yang salah. Mungkin ia yang terlalu peduli.
Ada keinginan kuat untuk pergi. Bukan kabur. Tapi mencari tempat yang membuatnya merasa utuh, bukan tempat yang membuatnya mempertanyakan keberadaannya setiap hari.
Ia menghela napas. Dalam hati ia berkata pelan, "Aku ingin pergi. Tapi aku tidak tahu ke mana. Hanya ingin menjauh dari tempat yang membuatku merasa tidak hidup."
Tapi seperti sore yang perlahan berubah menjadi malam, ia tahu… besok akan datang lagi. Dan ia masih akan di sini. Untuk sementara.